Part One
by sellia
Hai… namaku Anna. Aku anak
pertama dari dua bersaudara. Aku mempunyai adik laki-laki yang bernama Goyya. Umurnya
dua tahun lebih muda dariku. Aku anak SMP tingkat dua yang baru naik ke tingkat
tiga. Aku biasa dibilang siswi tomboy, bodoh, dan malas terhadap pelajaran
sekolah bila pelajaran itu menggunakan bangku didalam sebuah ruangan. Tapi, jangan
salah.. kalau sudah berkenaan dengan kegiatan diluar kelas, akulah jagonya.
Aku tinggal di sebuah
kampung didataran tinggi yang konon kampung itu dibangun oleh Uyutku. Uyut itu
adalah kakek dari ayahku.
Hobiku Hiking dan Camping.
Biasanya jika waktu libur tiba, atau sekolah tiba-tiba mengumumkan libur
mendadak -apakah itu rapat guru atau lainnya- seringkali aku mengisi waktu dengan
pergi ke gunung belakang kampung yang letaknya tidak terlalu jauh untuk
dikunjungi dari rumah. Seringkali aku pergi camping sendiri saja, tapi tak
masalah kalau sahabatku turut bergabung.
Bila sekolah setengah hari
saja, biasanya aku habiskan waktu hingga sore hari dengan nongkrong di ujung
atap rumah. Aku suka ketinggian, dan aku benar-benar menikmati suasana alam
dari atap rumah. Segala sesuatu yang berbau alam tanpa adanya kebisingan kota dan kebisingan para
ibu-ibu tetangga yang gila akan gossip, aku suka.
Yap… Ibu-ibu yang tidak
punya kerjaan berjumlah 5 orang sukanya bergossip. Bayangkan.. Dari pagi
ibu-ibu Bigos (biang gossip) itu sudah berkumpul di salah satu rumah mereka yang
letaknya dipinggir jalan utama kampung yang tidak terlalu besar dan kondisinya
sudah rusak akibat hujan juga mobil box besar pengangkut barang dari pabrik
speaker. Lebar jalannya tiga meter, Panjang membentang dari selatan ke arah
utara membelah kampungku. Siapapun yang lewat dijalan utama kampung itu, pasti
tak akan luput dari gossipnya.
Yang aku sebal, itulah
yang sekarang sedang menimpaku. Satu hari aku mengalami hari yang menurutku
rugi sekali aku mengetahuinya.
Kau tahu? Kejadiannya
bermula gara-gara satu cowok di daerahku yang bernama Lutto. Dia empat tahun
lebih tua dariku yang konon menurut cewek-cewek di lingkunganku dia cowok
paling macho, paling gagah, paling tampan, paling keren, paling dikejar-kejar.
Maka tak heran kalau cewek-cewek diseluruh kampungku itu sangat berharap bisa
berpacaran dengannya.
Aku pernah melihat
cewek-cewek itu beraksi. Menjijikan sekali.
Dan yang lebih menjijikkan lagi, dulu satu hari disaat aku
sedang duduk diujung atap rumah menikmati pemandangan sore yang cerah, terlihat
dari jauh iringan para cewek-cewek itu mendekati jalan utama yang letaknya 10
meter dari rumahku ke arah barat.
Sepanjang jalan utama dari
pagi hingga malam hari, cewek-cewek di lingkunganku itu membuat barisan seperti
semut untuk menunggu dia keluar rumah. Lalu saat dia keluar rumah, yah.. misalkan saja hanya sekedar pergi ke warung, dengan
hitungan detik para cewek-cewek yang menggandrunginya itu berkicauan tiada
henti memuja-muji dia, memohon padanya untuk menjadikannya kekasih,
menjerit-jerit, menyentuhnya, mengelilinginya, bahkan ada yang sampai pingsan
karena terlalu jatuh cinta padanya. Dia pun membalas sapaan para cewek itu
dengan senyumnya, pandangannya yang sok manis menurutku, sok romantis sambil bergaya
dengan menarik rambutnya yang kemerahan kebelakang kepalanya.
“Yaks…!!! Kenapa aku harus menyaksikan kejadian ini?!”
keluhku, “menyebalkan sekali..!!! Hari indahku rusak dengan kejadian yang ‘gak
penting…”.
“Huuuuu…!!!” teriakku sambil memutar ibu jari tanganku kearah bawah.
Kekesalanku sesaat terlampiaskan sih, tapi tanpa aku sadari teriakkan itu cukup
keras sehingga terdengar oleh Lutto yang ternyata berakibat fatal untukku.Dia
dengan spontan menoleh kepadaku. Saking kagetnya, aku balik membalas
pandangannya dengan merubah wajahku menjadi bentuk wajah yang terjelek.
Hahaha… mata kananku aku
julingkan, pipi dan hidungku aku kembungkan, bibirku aku monyongkan, alisku aku
angkat, dan bertanya, “Apa liat-liat?!!” teriakku. Setelah itu aku segera turun
dan sampai malam hari aku diam didepan televisi sambil ngomel-ngomel tentang
kejadian tadi sore.
…
Tak terasa satu minggu
sejak kejadian itu sudah terlewati tanpa ada lagi kejadian aneh yang aku alami.
Sampai suatu hari kira-kira
pukul setengah enam sore aku diminta ke warung Gosip itu oleh Mamamku untuk
membeli gula putih sebanyak satu kilo.
Begitu aku keluar dari
gang depan rumah, “Yaah… Ternyata ibu-ibu Bigos itu belum bubar juga??” Tanyaku
dalam hati.
Sebetulnya malas sekali
untuk belanja ke tempat itu, tapi apa boleh buat warung yang terdekat dari
rumahku hanya warung itu dan aku harus segera kembali ke kamar tidurku untuk
mengerjakan PR Agama yang sudah aku tunda dari satu minggu yang lalu karena
besok pagi pada jam pelajaran pertama, PR itu sudah harus dikumpulkan.
“ Haaah…. Terpaksa deh ke
warung Gosip!!!” keluhku. Pemilik warung itu adalah salah satu dari ibu-ibu
Bigos itu.
So.. strategi yang aku
siapkan adalah, aku harus secepat mungkin mendapatkan gula itu dan segera
pulang untuk menghindari jadi korban gossip para ibu-ibu Bigos itu.
Tanpa alas kaki dan
berjinjit aku segera mendatangi warung itu. Aww… sakiiit… saking
terburu-burunya aku lupa menggunakan sandalku.
Begitu datang sesegera mungkin
aku minta satu kantong gula putih seberat satu kilo dan segera bertanya
harganya.
Setelah gula diberikan
oleh penjaganya, uang aku berikan padanya, dan kembalian aku terima dengan
tangan kanan. Tanpa berfikir panjang aku bergegas meninggalkan tempat itu
sambil memegang kantong plastik berisi gula putih ditangan kiriku yang sudah
aku ikat sebelumnya.
“Haaaaah ? ? PACAR??”
jawabku kaget. “Sejak kapan aku pacaran dengan cowok centil itu?” tanyaku pada
mereka. Kenapa juga aku digosipkan pacaran dengannya. Apakah karena kejadian
sore hari satu minggu yang lalu itu? Aku yakin ibu-ibu itu pasti memperhatikan
juga, karena saat itu semua cewek-cewek yang ada ditempat kejadian itu pun
memandangku dengan wajah penuh kebencian.
Tapi pertanyaan yang aku
lontarkan itu benar-benar pertanyaan ‘gak perlu aku lontarkan. “Aah.. Bodoh
sekali..!!!” bisikku dalam hati. Tindakanku benar-benar
bodoh karena pertanyaan seperti itulah yang mereka harapkan sehingga
terpancinglah mereka untuk terus menggodaku.
Ibu-ibu itu benar-benar
kegirangan sapaannya dijawab olehku. Sambil aku terus melangkah menyebrangi
jalan utama kampung, mereka terus saja menggodaku. Karena kesalnya aku,
akhirnya aku jawab dengan nada marah, “Idiiiih… Please deh..!!! ‘Gak minat
banget ama cowok genit kayak gitu. ‘Gak ada yang lain apa?!” kataku.
Tiba-tiba ibu-ibu itu
terdiam. Sesaat memandang dengan ekpresi wajah tegang kearahku, lalu kemudian memalingkan
wajahnya memandang agak jauh kearah sebelah kananku. Reflek aku kemudian
mengikuti arah ibu-ibu itu memandang.
“Waduh… Gawat…!!" kataku dalam hati, rupanya Lutto
ada diujung gang rumahnya yang tidak jauh dari jalan utama kampung.
Rupanya ucapanku tadi
terdengar olehnya yang baru saja keluar dari mulut gang rumahnya.
Seketika itu juga aku
terperanjat. Rasa malu, kaget, dan takut bercampur aduk membuatku diam dan
menahan nafas tanpa ada gerakan sedikit pun. Semua suara-suara yang saat itu gaduh
pun tak terdengar olehku.
Aku benar-benar
terperanjat kaget. Melihat tatapannya yang tajam kearah mataku terasa seakan
ingin menyantapku membuat aku semakin tak bisa bergerak.
Aku merasakan wajahku
memanas, jantung berdetak kencang, nafas terengah-engah. Pandangan mataku
langsung terasa gelap ketika dia dengan cepat mendekatiku.
Semula aku akan segera
lari menjauh dari tempat itu. Tapi tanpa alas kaki, kerikil-kerikil yang
tercecer dijalanan itu terasa seperti ujung jarum yang menancap dengan mantap
diseluruh telapak kakiku. Dan tidak disangka, langkah Lutto rupanya lebih cepat
dari lari kecilku. Dia langsung menarik lenganku, mengunciku dengan cara melingkarkan
tangannya dipinggangku dan langsung menciumku.
Semakin kaget dan marah
yang aku rasakan. Lalu sesegera mungkin aku lepaskan cengkeraman tangannya yang
kuat dari lenganku. “Emmmmmh…!!!” aku terus mencoba melepaskan ciumannya dan cengkeramannya
dengan mendorongnya berulang-ulang. “Emmmmmmh….. Lepasiiiiin….!!!” Teriakku. Begitu
terlepas, aku segera menampar pipi kirinya dengan tangan kananku dan tanpa
melihatnya lagi aku segera pergi sambil berteriak “Brengsek..!!! Bodoh…!!!
Bego…!!! Stupid…!!! Tolol…!!!”. Lalu aku memandang matanya dengan tajam kearah
matanya dan mengatainya “Sintiing…!!!” teriakku dengan keras. Kemudian aku
segera pulang tanpa mempedulikan rasa sakit dikakiku akibat menginjak batu-batu
kerikil dijalanan.
Dari gerbang pintu pagar aku
mendengar ibu-ibu Bigos itu menggodanya dan langkahku terhenti. Dengan perasaan
penuh amarah aku melirik kearah warung dan aku melihatnya tersenyum memandang
kearahku sambil mengusap-usap pipinya yang aku tampar tadi.
“Cih.. kenapa hal ini
harus terjadi pada aku” keluhku. Dengan segera aku masuk rumah menuju dapur,
aku simpan gula putihnya diatas kulkas, dan segera kembali ke kamarku.
Gara-gara kejadian itu,
aku tidak dapat tidur. Kekecewaan dan penyesalan terus menghantui. PR pun tidak
bisa aku selesaikan karena pikirannku terus tertuju pada kejadian yang
menyebalkan tadi sore.
Walau aku berusaha keras untuk
melupakannya, tetap saja wajah jeleknya yang mendekati wajahku itu yang terus
terbayang.
Tanpa terasa waktu
menunjukkan pukul satu malam. Aku tetap terjaga tanpa ada satu soal pun yang selesai
aku jawab.
Akhirnya aku memutuskan
untuk naik ke ujung atap bermaksud menenangkan pikiranku.
Sambil melihat langit yang
cerah, air mata tiba-tiba menetes tanpa aku sadari. “Waduh… Kenapa nih..? kok
aku nangis? Heran..” tanyaku. Segera aku hapus air mata yang terus mengalir
dipipiku itu dengan bagian lengan dari bajuku.
Tiba-tiba aku melihat
suatu bayangan dari terang lampu bohlam lima
watt yang terpasang di ujung selatan pinggir jalan utama.
“Kayak ada orang?! Atau??
Hantu?” Bisikku sambil aku pegangi leher bagian belakangku.
“Hii… Merinding juga”
kembali aku bicara pada diri sendiri sambil berdiri bersiap-siap untuk segera
turun.
Semakin lama sosok itu semakin
mendekat kearah lampu neon yang menyala dari halaman Masjid. Dan semakin dekat
semakin jelas, rupanya sosok lelaki yang berjalan tertatih-tatih.
“Ooh… rupanya orang itu
habis mabuk..!!!” kataku kembali duduk. Sesaat kemudian aku baru tersadar, “Gila… Itu kan
cowok menyebalkan yang tadi sore. ‘Gak ada kerjaan banget mabuk-mabukan”
ketusku.
“Idiih… malu-maluin. Masa
cowok idola cewek-cewek sekampung ternyata pemabuk… ‘Gak salah apa para cewek
itu mengaguminya?” kritikku tiada henti. Akhirnya dia hilang dari pandangan
ketika dia memasuki gang kecil menuju rumahnya.
Malam semakin larut, mata
sudah terasa semakin berat. “Baguslah… Ngantuk juga akhirnya” kataku. Aku
segera turun menuju tempat tidur dikamarku.
Keesokan paginya aku
terbangun oleh suara Mamam yang keras membangunkan aku untuk bergegas sholat Shubuh
dan bersiap-siap untuk berangkat sekolah.
“Waduh… PR belum selesai”
kataku berbicara pada diri sendiri. Aku kerjakan sesegara mungkin, semampunya.
Jam sudah menunjukkan pukul
6.30. aku harus sudah berangkat sekolah. Tapi PR belum juga selesai karena aku
malah ketiduran di meja belajar.
“Aah.. nyerah aah… Hari
ini aku mau bolos aja.” Bisikku. “PR belum selesai, gurunya galak. Aku pasti
dimarahi dan di keluarkan dari kelas. Malu kan … Kalau ketauan Iman kecenganku itu.”
Gerutuku.
Segera aku keruang tengah
menuju telepon. aku buka catatan nomer telepon sahabatku bernama Nia dan aku
memohon padanya untuk membantu izinkan absensiku di kelas. Ternyata Tuhan
membantuku… “Hari ini sekolah libur karena ada rapat para Guru. “ kata Nia. “Horee…
Sukurlah..!!!” kataku.
Segera aku mandi dan
berpakaian. Hari ini aku putuskan akan pergi ke tempat yang biasa aku datangi
dikala aku butuh ketenangan.
Di gunung belakang kampung
ada satu batu kali yang ukurannya sebesar papan triplex setinggi 1.5 meter,
disitu biasanya aku menyendiri melakukan kegiatan seperti menulis diary, menggambar,
terlentang memandang langit, tidur siang, atau sekedar bakar ubi yang aku petik
mendadak di area kosong yang tidak jauh dari situ, yang sengaja aku tanam
beberapa bulan lalu.
Suasananya benar-benar membuatku
nyaman karena di sekitar batu itu kini sudah tumbuh banyak pepohonan yang mulai
merindang. Dan aku sengaja menanam tiga pohon Angsana didekat batu itu untukku
berteduh dari panas yang kadang menyengat.
Dulu, di sekitar batu itu
terasa gersang karena pepohonan yang tumbuh cukup jauh dari batu itu. Maka kemudian
aku benahi, aku tanami rumput dan bunga-bungaan yang aku ambil dari halaman
rumahku. Kini, tempat itu nyaman, teduh dan menyenangkan.
Tempat itu adalah markas
keduaku setelah ujung atap rumah.
Belum juga kaki melangkah
keluar halaman, Mamam yang baru pulang dari warung datang dengan tergesa-gesa
dan tiba-tiba menyeretku kembali masuk menuju ruang keluarga. Saat itu juga Mamam
marah-marah dan bertanya kepadaku mengenai gossip yang ibu-ibu itu ucapkan pada
Mamam. “Waduh… Gawat..!!!” bisikku dalam hati.
Mamam marah besar.
Belanjaan dibantingnya ke lantai dan dengan benar-benar marah bertanya padaku “Benarkah yang diucapan
para ibu-ibu itu pada Mam ? ”. Belum sempat aku jelaskan, Papap datang dari
arah dapur menanyakan apa yang terjadi pagi ini.
Mamam dengan penuh emosi
menjelaskan kepada Papap perihal yang terjadi menurut versi ibu-ibu Bigos itu.
Ibu-ibu Bigos itu
menceritakan pada Mamam kalau aku bercumbu didepan mereka kemarin sore bersama
laki2 pemabuk itu. “Aku?? bercumbu??” tanyaku memotong pembicaraan Mamam kepada
Papap. “Ditempat umum dengan Lutto anaknya Pak Gara, Pap!!” kata Mamam. “Ya
ampuun… Mamam percaya begitu aja sama ibu-ibu Bigos itu?” tanyaku. Tapi aku
malah dimarahi habis-habisan. Papap pun mengeluarkan kata-kata yang
menyakitkan.
Karena merasa disalahkan
tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan, aku segera lari walau Papap dan
Mamam belum selesai memarahiku. Airmata keluar dengan deras, aku lari sekuat
tenaga kearah gunung belakang kampung.
Tanpa terasa matahari
sudah diatas kepala, kaki terus membawaku entah kemana. Akhirnya aku terhenti
berlari dan sampai ke tempat yang biasa aku datangi.
Yap… Markas keduaku. Aku memberinya nama Batu Kesedihan
karena sering kali aku datang ketempat ini disaat aku sedih, disaat aku merasa
ingin sendiri, disaat ingin menenangkan hati dengan duduk diatasnya.
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar