Jumat, 13 April 2012

Batu Kesedihan (part one)


Part One
by sellia



Hai… namaku Anna. Aku anak pertama dari dua bersaudara. Aku mempunyai adik laki-laki yang bernama Goyya. Umurnya dua tahun lebih muda dariku. Aku anak SMP tingkat dua yang baru naik ke tingkat tiga. Aku biasa dibilang siswi tomboy, bodoh, dan malas terhadap pelajaran sekolah bila pelajaran itu menggunakan bangku didalam sebuah ruangan. Tapi, jangan salah.. kalau sudah berkenaan dengan kegiatan diluar kelas, akulah jagonya.

Aku tinggal di sebuah kampung didataran tinggi yang konon kampung itu dibangun oleh Uyutku. Uyut itu adalah kakek dari ayahku.

Hobiku Hiking dan Camping. Biasanya jika waktu libur tiba, atau sekolah tiba-tiba mengumumkan libur mendadak -apakah itu rapat guru atau lainnya- seringkali aku mengisi waktu dengan pergi ke gunung belakang kampung yang letaknya tidak terlalu jauh untuk dikunjungi dari rumah. Seringkali aku pergi camping sendiri saja, tapi tak masalah kalau sahabatku turut bergabung.

Bila sekolah setengah hari saja, biasanya aku habiskan waktu hingga sore hari dengan nongkrong di ujung atap rumah. Aku suka ketinggian, dan aku benar-benar menikmati suasana alam dari atap rumah. Segala sesuatu yang berbau alam tanpa adanya kebisingan kota dan kebisingan para ibu-ibu tetangga yang gila akan gossip, aku suka.

Yap… Ibu-ibu yang tidak punya kerjaan berjumlah 5 orang sukanya bergossip. Bayangkan.. Dari pagi ibu-ibu Bigos (biang gossip) itu sudah berkumpul di salah satu rumah mereka yang letaknya dipinggir jalan utama kampung yang tidak terlalu besar dan kondisinya sudah rusak akibat hujan juga mobil box besar pengangkut barang dari pabrik speaker. Lebar jalannya tiga meter, Panjang membentang dari selatan ke arah utara membelah kampungku. Siapapun yang lewat dijalan utama kampung itu, pasti tak akan luput dari gossipnya.

Yang aku sebal, itulah yang sekarang sedang menimpaku. Satu hari aku mengalami hari yang menurutku rugi sekali aku mengetahuinya.

Kau tahu? Kejadiannya bermula gara-gara satu cowok di daerahku yang bernama Lutto. Dia empat tahun lebih tua dariku yang konon menurut cewek-cewek di lingkunganku dia cowok paling macho, paling gagah, paling tampan, paling keren, paling dikejar-kejar. Maka tak heran kalau cewek-cewek diseluruh kampungku itu sangat berharap bisa berpacaran dengannya.

Aku pernah melihat cewek-cewek itu beraksi. Menjijikan sekali.

Dan yang lebih  menjijikkan lagi, dulu satu hari disaat aku sedang duduk diujung atap rumah menikmati pemandangan sore yang cerah, terlihat dari jauh iringan para cewek-cewek itu mendekati jalan utama yang letaknya 10 meter dari rumahku ke arah barat.

Sepanjang jalan utama dari pagi hingga malam hari, cewek-cewek di lingkunganku itu membuat barisan seperti semut untuk menunggu dia keluar rumah. Lalu saat dia keluar rumah, yah..  misalkan saja hanya sekedar pergi ke warung, dengan hitungan detik para cewek-cewek yang menggandrunginya itu berkicauan tiada henti memuja-muji dia, memohon padanya untuk menjadikannya kekasih, menjerit-jerit, menyentuhnya, mengelilinginya, bahkan ada yang sampai pingsan karena terlalu jatuh cinta padanya. Dia pun membalas sapaan para cewek itu dengan senyumnya, pandangannya yang sok manis menurutku, sok romantis sambil bergaya dengan menarik rambutnya yang kemerahan kebelakang kepalanya.

“Yaks…!!!  Kenapa aku harus menyaksikan kejadian ini?!” keluhku, “menyebalkan sekali..!!! Hari indahku rusak dengan kejadian yang ‘gak penting…”.

“Huuuuu…!!!” teriakku sambil memutar ibu jari tanganku kearah bawah. Kekesalanku sesaat terlampiaskan sih, tapi tanpa aku sadari teriakkan itu cukup keras sehingga terdengar oleh Lutto yang ternyata berakibat fatal untukku.Dia dengan spontan menoleh kepadaku. Saking kagetnya, aku balik membalas pandangannya dengan merubah wajahku menjadi bentuk wajah yang terjelek.

Hahaha… mata kananku aku julingkan, pipi dan hidungku aku kembungkan, bibirku aku monyongkan, alisku aku angkat, dan bertanya, “Apa liat-liat?!!” teriakku. Setelah itu aku segera turun dan sampai malam hari aku diam didepan televisi sambil ngomel-ngomel tentang kejadian tadi sore.






Tak terasa satu minggu sejak kejadian itu sudah terlewati tanpa ada lagi kejadian aneh yang aku alami.

Sampai suatu hari kira-kira pukul setengah enam sore aku diminta ke warung Gosip itu oleh Mamamku untuk membeli gula putih sebanyak satu kilo.

Begitu aku keluar dari gang depan rumah, “Yaah… Ternyata ibu-ibu Bigos itu belum bubar juga??” Tanyaku dalam hati.

Sebetulnya malas sekali untuk belanja ke tempat itu, tapi apa boleh buat warung yang terdekat dari rumahku hanya warung itu dan aku harus segera kembali ke kamar tidurku untuk mengerjakan PR Agama yang sudah aku tunda dari satu minggu yang lalu karena besok pagi pada jam pelajaran pertama, PR itu sudah harus dikumpulkan.

“ Haaah…. Terpaksa deh ke warung Gosip!!!” keluhku. Pemilik warung itu adalah salah satu dari ibu-ibu Bigos itu.

So.. strategi yang aku siapkan adalah, aku harus secepat mungkin mendapatkan gula itu dan segera pulang untuk menghindari jadi korban gossip para ibu-ibu Bigos itu.

Tanpa alas kaki dan berjinjit aku segera mendatangi warung itu. Aww… sakiiit… saking terburu-burunya aku lupa menggunakan sandalku.

Begitu datang sesegera mungkin aku minta satu kantong gula putih seberat satu kilo dan segera bertanya harganya.

Setelah gula diberikan oleh penjaganya, uang aku berikan padanya, dan kembalian aku terima dengan tangan kanan. Tanpa berfikir panjang aku bergegas meninggalkan tempat itu sambil memegang kantong plastik berisi gula putih ditangan kiriku yang sudah aku ikat sebelumnya.

Malang benar nasibku…. Ternyata ibu-ibu itu lebih cekatan dibanding gerakkanku. Suaranya yang keras lantang terdengar dari salah satu ibu-ibu itu bertanya padaku, “Anna,, Lutto-nya mana ? Masa dengan pacarnya ‘gak sama-sama..?!”

“Haaaaah ? ? PACAR??” jawabku kaget. “Sejak kapan aku pacaran dengan cowok centil itu?” tanyaku pada mereka. Kenapa juga aku digosipkan pacaran dengannya. Apakah karena kejadian sore hari satu minggu yang lalu itu? Aku yakin ibu-ibu itu pasti memperhatikan juga, karena saat itu semua cewek-cewek yang ada ditempat kejadian itu pun memandangku dengan wajah penuh kebencian.

Tapi pertanyaan yang aku lontarkan itu benar-benar pertanyaan ‘gak perlu aku lontarkan. “Aah.. Bodoh sekali..!!!” bisikku dalam hati.  Tindakanku benar-benar bodoh karena pertanyaan seperti itulah yang mereka harapkan sehingga terpancinglah mereka untuk terus menggodaku.

Ibu-ibu itu benar-benar kegirangan sapaannya dijawab olehku. Sambil aku terus melangkah menyebrangi jalan utama kampung, mereka terus saja menggodaku. Karena kesalnya aku, akhirnya aku jawab dengan nada marah, “Idiiiih… Please deh..!!! ‘Gak minat banget ama cowok genit kayak gitu. ‘Gak ada yang lain apa?!” kataku.

Tiba-tiba ibu-ibu itu terdiam. Sesaat memandang dengan ekpresi wajah tegang kearahku, lalu kemudian memalingkan wajahnya memandang agak jauh kearah sebelah kananku. Reflek aku kemudian mengikuti arah ibu-ibu itu memandang.

“Waduh… Gawat…!!" kataku dalam hati, rupanya Lutto ada diujung gang rumahnya yang tidak jauh dari jalan utama kampung.  

Rupanya ucapanku tadi terdengar olehnya yang baru saja keluar dari mulut gang rumahnya.

Seketika itu juga aku terperanjat. Rasa malu, kaget, dan takut bercampur aduk membuatku diam dan menahan nafas tanpa ada gerakan sedikit pun. Semua suara-suara yang saat itu gaduh pun tak terdengar olehku.

Aku benar-benar terperanjat kaget. Melihat tatapannya yang tajam kearah mataku terasa seakan ingin menyantapku membuat aku semakin tak bisa bergerak.

Aku merasakan wajahku memanas, jantung berdetak kencang, nafas terengah-engah. Pandangan mataku langsung terasa gelap ketika dia dengan cepat mendekatiku.

Semula aku akan segera lari menjauh dari tempat itu. Tapi tanpa alas kaki, kerikil-kerikil yang tercecer dijalanan itu terasa seperti ujung jarum yang menancap dengan mantap diseluruh telapak kakiku. Dan tidak disangka, langkah Lutto rupanya lebih cepat dari lari kecilku. Dia langsung menarik lenganku, mengunciku dengan cara melingkarkan tangannya dipinggangku dan langsung menciumku.

Semakin kaget dan marah yang aku rasakan. Lalu sesegera mungkin aku lepaskan cengkeraman tangannya yang kuat dari lenganku. “Emmmmmh…!!!” aku terus mencoba melepaskan ciumannya dan cengkeramannya dengan mendorongnya berulang-ulang. “Emmmmmmh….. Lepasiiiiin….!!!” Teriakku. Begitu terlepas, aku segera menampar pipi kirinya dengan tangan kananku dan tanpa melihatnya lagi aku segera pergi sambil berteriak “Brengsek..!!! Bodoh…!!! Bego…!!! Stupid…!!! Tolol…!!!”. Lalu aku memandang matanya dengan tajam kearah matanya dan mengatainya “Sintiing…!!!” teriakku dengan keras. Kemudian aku segera pulang tanpa mempedulikan rasa sakit dikakiku akibat menginjak batu-batu kerikil dijalanan.

Dari gerbang pintu pagar aku mendengar ibu-ibu Bigos itu menggodanya dan langkahku terhenti. Dengan perasaan penuh amarah aku melirik kearah warung dan aku melihatnya tersenyum memandang kearahku sambil mengusap-usap pipinya yang aku tampar tadi.

“Cih.. kenapa hal ini harus terjadi pada aku” keluhku. Dengan segera aku masuk rumah menuju dapur, aku simpan gula putihnya diatas kulkas, dan segera kembali ke kamarku.

Gara-gara kejadian itu, aku tidak dapat tidur. Kekecewaan dan penyesalan terus menghantui. PR pun tidak bisa aku selesaikan karena pikirannku terus tertuju pada kejadian yang menyebalkan tadi sore.

Walau aku berusaha keras untuk melupakannya, tetap saja wajah jeleknya yang mendekati wajahku itu yang terus terbayang.

Tanpa terasa waktu menunjukkan pukul satu malam. Aku tetap terjaga tanpa ada satu soal pun yang selesai aku jawab.

Akhirnya aku memutuskan untuk naik ke ujung atap bermaksud menenangkan pikiranku.

Sambil melihat langit yang cerah, air mata tiba-tiba menetes tanpa aku sadari. “Waduh… Kenapa nih..? kok aku nangis? Heran..” tanyaku. Segera aku hapus air mata yang terus mengalir dipipiku itu dengan bagian lengan dari bajuku.

Tiba-tiba aku melihat suatu bayangan dari terang lampu bohlam lima watt yang terpasang di ujung selatan pinggir jalan utama.

“Kayak ada orang?! Atau?? Hantu?” Bisikku sambil aku pegangi leher bagian belakangku.

“Hii… Merinding juga” kembali aku bicara pada diri sendiri sambil berdiri bersiap-siap untuk segera turun.

Semakin lama sosok itu semakin mendekat kearah lampu neon yang menyala dari halaman Masjid. Dan semakin dekat semakin jelas, rupanya sosok lelaki yang berjalan tertatih-tatih.

“Ooh… rupanya orang itu habis mabuk..!!!” kataku kembali duduk. Sesaat kemudian aku baru tersadar, “Gila…  Itu kan cowok menyebalkan yang tadi sore. ‘Gak ada kerjaan banget mabuk-mabukan” ketusku.

“Idiih… malu-maluin. Masa cowok idola cewek-cewek sekampung ternyata pemabuk… ‘Gak salah apa para cewek itu mengaguminya?” kritikku tiada henti. Akhirnya dia hilang dari pandangan ketika dia memasuki gang kecil menuju rumahnya.

Malam semakin larut, mata sudah terasa semakin berat. “Baguslah… Ngantuk juga akhirnya” kataku. Aku segera turun menuju tempat tidur dikamarku.

Keesokan paginya aku terbangun oleh suara Mamam yang keras membangunkan aku untuk bergegas sholat Shubuh dan bersiap-siap untuk berangkat sekolah.

“Waduh… PR belum selesai” kataku berbicara pada diri sendiri. Aku kerjakan sesegara mungkin, semampunya.

Jam sudah menunjukkan pukul 6.30. aku harus sudah berangkat sekolah. Tapi PR belum juga selesai karena aku malah ketiduran di meja belajar.

“Aah.. nyerah aah… Hari ini aku mau bolos aja.” Bisikku. “PR belum selesai, gurunya galak. Aku pasti dimarahi dan di keluarkan dari kelas. Malu kan… Kalau ketauan Iman kecenganku itu.” Gerutuku.

Segera aku keruang tengah menuju telepon. aku buka catatan nomer telepon sahabatku bernama Nia dan aku memohon padanya untuk membantu izinkan absensiku di kelas. Ternyata Tuhan membantuku… “Hari ini sekolah libur karena ada rapat para Guru. “ kata Nia. “Horee… Sukurlah..!!!” kataku.

Segera aku mandi dan berpakaian. Hari ini aku putuskan akan pergi ke tempat yang biasa aku datangi dikala aku butuh ketenangan.

Di gunung belakang kampung ada satu batu kali yang ukurannya sebesar papan triplex setinggi 1.5 meter, disitu biasanya aku menyendiri melakukan kegiatan seperti menulis diary, menggambar, terlentang memandang langit, tidur siang, atau sekedar bakar ubi yang aku petik mendadak di area kosong yang tidak jauh dari situ, yang sengaja aku tanam beberapa bulan lalu.

Suasananya benar-benar membuatku nyaman karena di sekitar batu itu kini sudah tumbuh banyak pepohonan yang mulai merindang. Dan aku sengaja menanam tiga pohon Angsana didekat batu itu untukku berteduh dari panas yang kadang menyengat.

Dulu, di sekitar batu itu terasa gersang karena pepohonan yang tumbuh cukup jauh dari batu itu. Maka kemudian aku benahi, aku tanami rumput dan bunga-bungaan yang aku ambil dari halaman rumahku. Kini, tempat itu nyaman, teduh dan menyenangkan.

Tempat itu adalah markas keduaku setelah ujung atap rumah.

Belum juga kaki melangkah keluar halaman, Mamam yang baru pulang dari warung datang dengan tergesa-gesa dan tiba-tiba menyeretku kembali masuk menuju ruang keluarga. Saat itu juga Mamam marah-marah dan bertanya kepadaku mengenai gossip yang ibu-ibu itu ucapkan pada Mamam. “Waduh… Gawat..!!!” bisikku dalam hati.

Mamam marah besar. Belanjaan dibantingnya ke lantai dan dengan benar-benar  marah bertanya padaku “Benarkah yang diucapan para ibu-ibu itu pada Mam ? ”. Belum sempat aku jelaskan, Papap datang dari arah dapur menanyakan apa yang terjadi pagi ini.

Mamam dengan penuh emosi menjelaskan kepada Papap perihal yang terjadi menurut versi ibu-ibu Bigos itu.

Ibu-ibu Bigos itu menceritakan pada Mamam kalau aku bercumbu didepan mereka kemarin sore bersama laki2 pemabuk itu. “Aku?? bercumbu??” tanyaku memotong pembicaraan Mamam kepada Papap. “Ditempat umum dengan Lutto anaknya Pak Gara, Pap!!” kata Mamam. “Ya ampuun… Mamam percaya begitu aja sama ibu-ibu Bigos itu?” tanyaku. Tapi aku malah dimarahi habis-habisan. Papap pun mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan.

Karena merasa disalahkan tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan, aku segera lari walau Papap dan Mamam belum selesai memarahiku. Airmata keluar dengan deras, aku lari sekuat tenaga kearah gunung belakang kampung.

Tanpa terasa matahari sudah diatas kepala, kaki terus membawaku entah kemana. Akhirnya aku terhenti berlari dan sampai ke tempat yang biasa aku datangi.
Yap… Markas keduaku. Aku memberinya nama Batu Kesedihan karena sering kali aku datang ketempat ini disaat aku sedih, disaat aku merasa ingin sendiri, disaat ingin menenangkan hati dengan duduk diatasnya.




---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar