Jumat, 13 April 2012

Batu Kesedihan (part three)


Part Three





Ketika aku sampai dibatu kesedihanku, aku menangis dengan berteriak sekeras2nya. “Kenapa orangtuaku selalu menyalahkan aku? mengapa semua ini terjadi? Apa salahku?” teriakku.

Setelah puas dengan menangis, rasa lelah dan mengantuk langsung menyelimutiku. aku hampiri Bak Batu Kesegaran, lalu aku ceburkan diri kedalamnya dan segera kurasakan segarnya air yang mengalir itu. Tubuhku merasakan kesegarannya dan rasa nyaman kemudian menghampiri.

aku coba rendam seluruh badanku sampai kepalaku pun jauh terendam. Terasa dingin air itu membasahi wajahku. Terasa lebih sejuk air itu mengenai pipipku yg basah terkena airmataku.
Didalam air, aku memandang kebagian permukaan air. Genangan airnya bagus terlihat dari dalam. Aku angkat tanganku untuk meraih permukaannya, tapi tidak sampai.

Aku nikmati pemandangan biasan cahaya dari dalam air sepuas-puasnya. Mataku terasa lebih ringan. Mungkin karena air ini dingin.

Dari bawah batu yang sedikit menonjol kebagian dalam bak, samara-samar aku melihat ada sesuatu. “Seperti ada lubang… tapi tak mungkin. Mungkin itu hanya bayangan pohon mahony yang tumbuh dipinggir bak ini” kataku dalam hati. Aku keluar dari dalam air untuk menarik nafas. Aku sandarkan kepalaku ke dinding genangan. Aku pandangi langit yang cerah… sesekali suara serangga-serangga dan burung liar aku perhatikan. Tapi sesaat kemudian, terfikirkan lagi olehku jika  yang tadi aku lihat adalah bayangan pohon, cukup aneh untukku. Aku berniat untuk melihatnya lagi. Aku tarik nafas dalam-dalam dan aku tenggelamkan kepalaku lebih dalam lagi.

Aku coba dekati bayangan itu. Ternyata benar… itu bukan bayangan pohon mahony ini, aku semakin dekati bayangan itu. Aku pegang dan ternyata itu sebuah lubang. Lubang yang licin, cukup besar untuk aku masuki. Tapi rasanya cukup sulit untuk memasukinya. Karena terasa sekali dari lubang itulah terasa lebih dingin jika dibandingkan dengan air yang aku gunakan untuk berendam.

“Air gunung yang benar2 segar.” Kataku. “Benar-benar terasa lebih dingin jika dibandingkan dengan air yang sudah menggenang ini. Kataku lagi. Mungkin karena tersorot sinar matahari sehingga air yang tergenang ini lebih hangat dibandingkan denagn air yang ada di lubang itu.

Karena aku menduga akan terasa sulit untuk aku terobos, akhirnya aku keluar dari Bak Batu itu, dan aku berjemur.

Rasa penasaran terus menbayang-bayangi pikiranku. Dan aku terus berpikir cara untuk menerobosnya.

“Apakah mungkin?” tanyaku pada diri sendiri. Kembali aku menceburkan diri kedalam Bak Batu Kesegaran itu. Dan kembali membenamkan seluruh badanku dalam lagi.

Aku dekati lubang itu. Ternyata ukurannya sedikit lebih lebar dari badanku.

aku keluarkan kepalaku untuk menghirup udara. Aku coba tarik nafas lagi dalam-dalam dan aku coba masuki lubang itu.

Uuh… Cukup sulit juga aku masuki karena selain airnya lebih dingin, bentuk lubang pun tak beraturan. Aku perhatikan,, lubangnya agak berbentuk oval tapi tidak tetap. Diujung lubang, bentuk ovalnya lebih condong ke kiri. Tapi semakin dalam semakin terasa lebih condong ke kanan. Kemudian lubangnya agak berbelok ke kiri lalu ke kanan lagi. Terasa seperti ada satu turunan didepan dan bagian pinggirannya pun semakin licin. Mungkin karena air gunung, airnya sedikit mengandung belerang? Atau berlumutkah? Atau apa ya?!. Yang sedikit mengurangi rasa khawatirnya, semakin dalam rasanya lubang itu semakin membesar.

Oups… Udara didalam paru-paruku habis. Aku menyerah dan aku segera keluar dari lubang itu.

Setelah beristirahat sejenak sambil memikirkan cara yang lebih baik lagi, “Ok aku coba lagi…kali ini aku usahakan berhasil..!!” kataku menyemangati diri.

Yang aku rasakan, aku masuk lebih dalam lagi dari sebelumnya. Lubang yang cukup panjang juga… udara yang aku hirup pun kini  hampir habis…

“Bagaimana ini? Apakah aku harus kembali keluar dan mencobanya lagi atau aku terus usahakan lagi. Siapa tahu ujung lubang sudah ada di depanku” kataku dalam hati.

“Bagaimana kalau ujung lubang ini ternyata masih jauh? Bagaimana kalau diujung sana tidak ada celah untukku bernafas?? Bagaimana nih?? Apa aku paksakan saja? Atau menyerah dan mencobanya lagi?” kataku kebingungan.

Ujung lubang masih saja belum terasa. “Waduh… Saat ini kah aku mati?” pikirku. “Ya Tuhan.. Aku masih belum mau mati. Yang tadi aku ucapkan kalau aku ingin mati aku urungkan. Aku benar-benar masih ingin hidup.” Kataku dalam hati.

Aku rasa aku sudah semakin jauh memasukinya karena aku sudah melewati turunan yang tadi aku perkirakan dan kini kembali naik. Lubangpun semakin membesar. Peganganku menjadi kurang erat karena sisi lubang sudah semakin menjauh.

“Uuuuh..!!!” sisa udara yang ada aku keluarkan karena aku sudah tidak kuat lagi. Udara diparu-paruku sekarang sudah habis. “Yah… Aku mati disini toh… kasian sekali aku, tidak ada orang yang akan mengetahuinya kalau aku mati disini.”kataku dalam hati.

Saat-saat terakhir hidupku, Aku coba hadapkan wajahku kearah atas lubang Didepanku. “Hai… apa itu? Kalau tidak salah itu adalah..... Permukaan Air…!!!!“ pikirku.

 “Udara.. aku butuh udara…!!!!!“ pikirku kembali. Segera aku tarik badanku menuju permukaan itu. “Huaaah….” Aku tarik nafas dalam-dalam dan kusandarkan badanku disisi Goa. Sambil mnghilangkan lelahku, betapa terperanjatnya aku. Suasana didalam lubang itu indah sekali. “Goa Bawah tanah rupanya, indah sekali.. bersih, teratur, dinding yang terlihat licin berwarna-warni seperti di Vernis. Sekeliling Goa bergema memantulkan suara kucuran air yang keluar dari lubang-lubang di dinding Goa berukuran sedotan.

Indahnya…. Cukup terang karena ada biasan cahaya yang memantul ke dalam air, kembali memantul ke batu-batu kali berbentuk seperti bulat telur sebesar bola kasti berwarna putih seperi batu marmer mengkilat yang tergeletak di daratan pinggir Goa itu. Banyak sekali, kalau dihitung kira-kira limapuluh buah ada kali.

“Waaaaw…. Keren sekali….” Kataku.

“Wah… bisa untuk menyimpan harta karunku nih…” kataku.

Aku puaskan pandanganku menikmati indahnya pemandangan didalam Goa itu.

Dengan terduduk di daratan pinggir Goa, aku sandarkan tubuhku di batu-batu marmer itu, dan kedua kakiku aku rendam di air gunung itu, aku benar-benar merasakan segarnya air gunung yang benar-benar terasa dingin.

Setelah aku puas menikmati Goa itu, aku segera keluar…

Siuut…. Mudah sekali. Dalam beberapa detik saja aku sudah berada di Bak Batu Kesegaran lagi. Badan kembali menjadi hangat oleh air yang menjadi panas akibat sengatan sinar matahari.

Sambil mengeringkan badan, aku berjalan pulang dan membuat peta sederhana diselembar daun pisang dengan menggunakan ranting kering yang banyak tergeletak ditanah. 

Aku pulang secara sembunyi-sembunyi.

Begitu sampai, aku salin peta yang sudah aku buat tadi pada sebidang kulit imitasi yang aku temukan dari laci kerja Papap.

Sebetulnya, aku merasa perjalanan pulang tadi itu adalah perjalanan pulang yang aneh… aku baru menyadari kalau aku tadi itu melewati dua perkampungan. Kelihatannya perkampungan itu tidak mengenal dunia modern sudah sejak lama. Karena aku melihat masyarakat mempunyai semua kebutuhan hidupnya. Seperti sayur-sayuran dan buah-buahan, mereka bisa dapatkan dari ladang sendiri. Beras, susu, juga daging-dagingan mereka dapatkan dari hasil ternak sendiri. Jika salah satu dari mereka tidak mempunyainya, aku lihat mereka bertukar barang. Istilah yang aku pelajari dari sekolah transaksi itu dinamakan barter. Alat-alat yang mereka gunakan untuk bekerja pun kelihatannya mereka rakit sendiri. Aku perhatikan diperkampungan itu tidak terlihat adanya tiang-tiang listrik dan antenna televisi. Ada kemungkinan mereka masih menggunakan obor dan dammar untuk penerangan didalam rumah dan jalan-jalan kampung.

Anehnya lagi… kenapa jam 9 malam aku baru sampai rumah?? Biasanya aku hanya membutuhkan 1 jam saja untuk tiba di rumah. Begitu pula sebaliknya jika aku pergi ke Batu Kesedihan itu.

Malam itu aku tak bisa tidur karena terus membayangkan keindahan Goa yang aku temukan siang tadi di dekat Batu kesedihanku. Dan besok aku berencana ingin mengajak sahabatku Nia untuk camping disana dan menunjukkan Goa itu padanya.

“Besok pasti menjadi hari yang sangat menyenangkan untuk kami berdua.” Kataku sambil tersenyum.

“Dengan sahabatku? Camping? Hanya berdua tanpa memikirkan masalah yang ada?? Fu.. fu… fu… past menyenangkan.” Ucapanku di dalam hati sambil senyum-senyum sendirian. Tak sabar rasanya ingin segera esok hari. Tapi bagaimana kalau dia sudah tidak mau main lagi denganku? Kalimat itu yang juga selalu menghantuiku. Tapi aku percaya Nia tidak begitu. 

“Semoga…”

---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar