Part Three
Ketika aku sampai dibatu
kesedihanku, aku menangis dengan berteriak sekeras2nya. “Kenapa orangtuaku selalu
menyalahkan aku? mengapa semua ini terjadi? Apa salahku?” teriakku.
Setelah puas dengan menangis,
rasa lelah dan mengantuk langsung menyelimutiku. aku hampiri Bak Batu Kesegaran,
lalu aku ceburkan diri kedalamnya dan segera kurasakan segarnya air yang
mengalir itu. Tubuhku merasakan kesegarannya dan rasa nyaman kemudian
menghampiri.
aku coba rendam seluruh badanku
sampai kepalaku pun jauh terendam. Terasa dingin air itu membasahi wajahku. Terasa lebih sejuk air itu mengenai pipipku yg basah terkena airmataku.
Didalam air, aku memandang
kebagian permukaan air. Genangan airnya bagus terlihat dari dalam. Aku angkat
tanganku untuk meraih permukaannya, tapi tidak sampai.
Aku nikmati pemandangan
biasan cahaya dari dalam air sepuas-puasnya. Mataku terasa lebih ringan.
Mungkin karena air ini dingin.
Dari bawah batu yang sedikit menonjol kebagian dalam bak, samara-samar
aku melihat ada sesuatu. “Seperti ada lubang… tapi tak mungkin. Mungkin itu
hanya bayangan pohon mahony yang tumbuh dipinggir bak ini” kataku dalam hati.
Aku keluar dari dalam air untuk menarik nafas. Aku sandarkan kepalaku ke dinding
genangan. Aku pandangi langit yang cerah… sesekali suara serangga-serangga dan
burung liar aku perhatikan. Tapi sesaat kemudian, terfikirkan lagi olehku jika yang tadi aku lihat adalah bayangan pohon, cukup
aneh untukku. Aku berniat untuk melihatnya lagi. Aku tarik nafas dalam-dalam
dan aku tenggelamkan kepalaku lebih dalam lagi.
Aku coba dekati bayangan
itu. Ternyata benar… itu bukan bayangan pohon mahony ini, aku semakin dekati
bayangan itu. Aku pegang dan ternyata itu sebuah lubang. Lubang yang licin, cukup
besar untuk aku masuki. Tapi rasanya cukup sulit untuk memasukinya. Karena terasa
sekali dari lubang itulah terasa lebih dingin
jika dibandingkan dengan air yang aku gunakan untuk berendam.
“Air gunung yang benar2
segar.” Kataku. “Benar-benar terasa lebih dingin jika dibandingkan dengan air
yang sudah menggenang ini. Kataku lagi. Mungkin karena tersorot sinar matahari
sehingga air yang tergenang ini lebih hangat dibandingkan denagn air yang ada di lubang itu.
Karena aku menduga akan
terasa sulit untuk aku terobos, akhirnya aku keluar dari Bak Batu itu, dan aku
berjemur.
Rasa penasaran terus
menbayang-bayangi pikiranku. Dan aku terus berpikir cara untuk menerobosnya.
“Apakah mungkin?” tanyaku
pada diri sendiri. Kembali aku menceburkan diri kedalam Bak Batu Kesegaran itu.
Dan kembali membenamkan seluruh badanku dalam lagi.
Aku dekati lubang itu.
Ternyata ukurannya sedikit lebih lebar dari badanku.
aku keluarkan kepalaku
untuk menghirup udara. Aku coba tarik nafas lagi dalam-dalam dan aku coba
masuki lubang itu.
Uuh… Cukup sulit juga aku
masuki karena selain airnya lebih dingin, bentuk lubang pun tak
beraturan. Aku perhatikan,, lubangnya agak berbentuk oval tapi tidak tetap.
Diujung lubang, bentuk ovalnya lebih condong ke kiri. Tapi semakin dalam
semakin terasa lebih condong ke kanan. Kemudian lubangnya agak berbelok ke kiri
lalu ke kanan lagi. Terasa seperti ada satu turunan didepan dan bagian
pinggirannya pun semakin licin. Mungkin karena air gunung, airnya sedikit
mengandung belerang? Atau berlumutkah? Atau apa ya?!. Yang sedikit mengurangi rasa khawatirnya,
semakin dalam rasanya lubang itu semakin membesar.
Oups… Udara didalam
paru-paruku habis. Aku menyerah dan aku segera keluar dari lubang itu.
Setelah beristirahat
sejenak sambil memikirkan cara yang lebih baik lagi, “Ok aku coba lagi…kali ini
aku usahakan berhasil..!!” kataku menyemangati diri.
Yang aku rasakan, aku masuk
lebih dalam lagi dari sebelumnya. Lubang yang cukup panjang juga… udara yang
aku hirup pun kini hampir habis…
“Bagaimana ini? Apakah aku
harus kembali keluar dan mencobanya lagi atau aku terus usahakan lagi. Siapa
tahu ujung lubang sudah ada di depanku” kataku dalam hati.
“Bagaimana kalau ujung
lubang ini ternyata masih jauh? Bagaimana kalau diujung sana tidak ada celah untukku bernafas??
Bagaimana nih?? Apa aku paksakan saja? Atau menyerah dan mencobanya lagi?”
kataku kebingungan.
Ujung lubang masih saja
belum terasa. “Waduh… Saat ini kah aku mati?” pikirku. “Ya Tuhan.. Aku masih
belum mau mati. Yang tadi aku ucapkan kalau aku ingin mati aku urungkan. Aku
benar-benar masih ingin hidup.” Kataku dalam hati.
Aku rasa aku sudah semakin
jauh memasukinya karena aku sudah melewati turunan yang tadi aku perkirakan dan
kini kembali naik. Lubangpun semakin membesar. Peganganku menjadi kurang erat
karena sisi lubang sudah semakin menjauh.
“Uuuuh..!!!” sisa udara
yang ada aku keluarkan karena aku sudah tidak kuat lagi. Udara diparu-paruku
sekarang sudah habis. “Yah… Aku mati disini toh… kasian sekali aku, tidak ada
orang yang akan mengetahuinya kalau aku mati disini.”kataku dalam hati.
Saat-saat terakhir
hidupku, Aku coba hadapkan wajahku kearah atas lubang Didepanku. “Hai… apa itu?
Kalau tidak salah itu adalah..... Permukaan Air…!!!!“ pikirku.
“Udara.. aku butuh udara…!!!!!“ pikirku kembali. Segera
aku tarik badanku menuju permukaan itu. “Huaaah….” Aku tarik nafas dalam-dalam
dan kusandarkan badanku disisi Goa . Sambil
mnghilangkan lelahku, betapa terperanjatnya aku. Suasana didalam lubang itu
indah sekali. “Goa Bawah tanah rupanya, indah sekali.. bersih, teratur, dinding
yang terlihat licin berwarna-warni seperti di Vernis. Sekeliling Goa bergema memantulkan suara
kucuran air yang keluar dari lubang-lubang di dinding Goa berukuran sedotan.
Indahnya…. Cukup terang
karena ada biasan cahaya yang memantul ke dalam air, kembali memantul ke
batu-batu kali berbentuk seperti bulat telur sebesar bola kasti berwarna putih
seperi batu marmer mengkilat yang tergeletak di daratan pinggir Goa itu. Banyak sekali, kalau dihitung kira-kira limapuluh
buah ada kali.
“Waaaaw…. Keren sekali….”
Kataku.
“Wah… bisa untuk menyimpan
harta karunku nih…” kataku.
Aku puaskan pandanganku menikmati
indahnya pemandangan didalam Goa itu.
Dengan terduduk di daratan
pinggir Goa , aku sandarkan tubuhku di
batu-batu marmer itu, dan kedua kakiku aku rendam di air gunung itu, aku
benar-benar merasakan segarnya air gunung yang benar-benar terasa dingin.
Setelah aku puas menikmati
Goa itu, aku segera keluar…
Siuut…. Mudah sekali.
Dalam beberapa detik saja aku sudah berada di Bak
Batu Kesegaran lagi. Badan kembali menjadi hangat oleh air yang menjadi panas
akibat sengatan sinar matahari.
Sambil mengeringkan badan, aku berjalan pulang dan membuat peta sederhana diselembar
daun pisang dengan menggunakan ranting kering yang banyak tergeletak ditanah.
Aku pulang secara
sembunyi-sembunyi.
Begitu sampai, aku salin peta
yang sudah aku buat tadi pada sebidang kulit imitasi yang aku temukan dari laci
kerja Papap.
Sebetulnya, aku merasa perjalanan
pulang tadi itu adalah perjalanan pulang yang aneh… aku baru menyadari kalau
aku tadi itu melewati dua perkampungan. Kelihatannya perkampungan itu tidak
mengenal dunia modern sudah sejak lama. Karena aku melihat masyarakat mempunyai
semua kebutuhan hidupnya. Seperti sayur-sayuran dan buah-buahan, mereka bisa
dapatkan dari ladang sendiri. Beras, susu, juga daging-dagingan mereka dapatkan
dari hasil ternak sendiri. Jika salah satu dari mereka tidak mempunyainya, aku
lihat mereka bertukar barang. Istilah yang aku pelajari dari sekolah transaksi
itu dinamakan barter. Alat-alat yang mereka gunakan untuk bekerja pun
kelihatannya mereka rakit sendiri. Aku perhatikan diperkampungan itu tidak
terlihat adanya tiang-tiang listrik dan antenna televisi. Ada kemungkinan mereka masih menggunakan obor
dan dammar untuk penerangan didalam rumah dan jalan-jalan kampung.
Anehnya lagi… kenapa jam 9
malam aku baru sampai rumah?? Biasanya aku hanya membutuhkan 1 jam saja untuk
tiba di rumah. Begitu pula sebaliknya jika aku pergi ke Batu Kesedihan itu.
Malam itu aku tak bisa
tidur karena terus membayangkan keindahan Goa
yang aku temukan siang tadi di dekat Batu kesedihanku. Dan besok aku berencana
ingin mengajak sahabatku Nia untuk camping disana dan menunjukkan Goa itu padanya.
“Besok pasti menjadi hari
yang sangat menyenangkan untuk kami berdua.” Kataku sambil tersenyum.
“Dengan sahabatku?
Camping? Hanya berdua tanpa memikirkan masalah yang ada?? Fu.. fu… fu… past
menyenangkan.” Ucapanku di dalam hati sambil senyum-senyum sendirian. Tak sabar rasanya ingin segera esok
hari. Tapi bagaimana kalau dia sudah tidak mau main lagi denganku? Kalimat itu
yang juga selalu menghantuiku. Tapi aku percaya Nia tidak begitu.
“Semoga…”
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar