Part Two
Suara burung, hembusan
angin dan hewan2 lain disekitarku, membuatku tenang. Sungguh terasa sekali kalau aku diterima di lingkungan
itu.
Beberapa saat kemudian aku
baru menyadari ada suara yang baru aku dengar. Bukan suara-suara aneh… tapi itu
seperti suara gemericik air terjun kecil yang sepertinya terasa sungguh
menyegarkan. Bisa aku bayangkan betapa dinginnya menyejukkan hati dan badan.
Aku telusuri dari mana asal
suara itu, aku hampiri dan tak jauh dari Batu Kesedihan itu terdapat satu lagi
batu kali yang ukurannya lebih besar dari Batu Kesedihanku. Begitu indahnya
sampai mataku pun tak berkedip.
Dibalik batu itu, terdapat
air yang memancurkan air jernih dingin setinggi 10 centimeter. Menjadikan
genangan dibawahnya seperti tempat untuk berendam yang kira-kira cukup jika
diisi dengan lima
orang. Dasarnya yang kehitaman terlihat seperti dangkal memantulkan biasan
sinar matahari dari sisi yang tidak tertutupi dedaunan dari pohon Mahony.
Semakin aku perhatikan
semakin indah, semakin jelas pula bentuknya. Aku menduga cekungan itu dari batu
kali yang aku perkirakan sudah puluhan tahun tertanam dan tertetesi dari air
mancur kecil itu.
Aku coba masuk ke genangan
itu. Ternyata tidak terlalu dalam. Jika aku berdiri tegak, dalamnya hanya sampai
pinggangku.
Aku coba nikmati air yang
segar itu. Semakin aku rendamkan badanku dengan air segar itu hingga setinggi
bahuku. “Huh… Dingin..!!!” kataku sambil terengah-engah menahan dinginnya air
murni dari gunung itu.
Aku memberikan nama tempat
itu Bak Batu kesegaran.
…
Menjelang sore aku pulang.
Sejak ada tempat baru itu,
setiap hari sepulang dari sekolah aku datang ke tempat itu, sendiri saja tanpa
siapapun yang menemani.
Damai terasa…
Nyaman tak tertandingi…
Sudah empat hari terus
menerus aku kena marah lagi oleh orang tuaku. Kali ini mereka sangat marah
sampai memukulku.
Sepertinya mereka
benar-benar kecewa. Apalagi setiap hari mereka termakan oleh gossip yang
disebarkan oleh ibu-ibu Bigos itu.
Di lingkungan pun, aku
dimusuhi oleh cewek-cewek yang akunya mereka adalah fans beratnya Lutto.
Ya.. aku kena fitnah…
Kali ini orangtuaku
mendengar cerita dari saudara dan tetanggaku kalau aku akhir-akhir ini melakukan
hal yang membuat malu keluarga. Merusak nama baik keluarga.
Mereka menfitnahku kalau
mereka memergoki aku berdua-duaan dengan cowok centil itu di dalam kamar kost-an
temannya yang tidak jauh dari ujung jalan utama kampung.
Memang berdua, tapi
kenyataan yang sebenarnya bukan di dalam kamar kost-an temannya Lutto. Melainkan
berpapasan diujung jalan utama ketika aku akan pulang dari tempat indahku.
"Tapi, berpapasankah
namanya jika Lutto sengaja menungguku di ujung jalan agar dia bisa bersama-sama
denganku berjalan pulang?” tanyaku dalam hati.
Saat itu ada percakapan dgn dia, daaaan aku baru tahu
kalau lelaki itu ternyata suka padaku, bahkan tergila2 padaku. Alasannya karena
dari semua cewek di kampung ini, hanya
aku yang berani mengejeknya, bukan menyembahnya. Dan saat itu juga dia
memintaku untuk menjadi ceweknya.
“Haa.. ha.. ha.. ha.. You
Kidding…!!!”kataku tertawa keras.
“Please deh..!! ‘Gak
salah?!” tanyaku kepadanya dimomen itu.
“Sorry ya… Kalau boleh
jujur, you’re not my type…!!!” kataku lagi sambil tertawa kecil.
Aku benar-benar menolak dia
karena aku benar-benar tidak suka padanya.
“Memang apa yang kurang?
Apa yang salah dari saya?” Tanya Lutto. Tanpa berpikir panjang, aku segera
menjawab pertanyaan itu dengan maksud agar dia tidak usah menggangguku lagi.
“Sok keren… sok gaya … sok … males ah
ngejelasinnya juga. Terlalu banyak.”.
“Dan pemabuk..!!!”
tegasku.
Dia menampik kalau dia
adalah pemabuk. Dengan segera aku jawab lagi,
“Aku pernah lihat kamu jam satu malam terhuyun-huyun
sambil membawa botol berisikan air berwarna. Ngertikan maksudku?!” tanyaku.
Dengan perasaan tidak mau
kalah, Lutto membalas perkataanku,
“Oh… jadi kamu
memata-matai saya. Ternyata kamu cewek ‘gak bener ya suka keluar malem-malem.” katanya.
“So..?? udah jelas kan kalau aku bukan
cewek bener menurut kamu, karena suka keluar malem. Kenapa juga masih nekad
minta aku jadi pacar kamu.” Kataku.
“Tuh… didepan rumahmu,
sudah menanti seratus lusin cewek-cewek yang lebih baik dari aku. Mereka ‘gak
pernah keluar malem kan ??!!”
balasku mencibir. Tapi tetap saja dia teguh pada pendiriannya. Dia memaksa aku harus
menjadi pacarnya.
“Yee… Kecakepan..!!!”
kataku sambil terus masuk gang menuju rumahku.
Aku lupa kalau diseberang
gang rumahku, ibu-ibu Bigos itu masih berkumpul sampai adzan Maghrib.
Ternyata benar dugaanku.
Mereka bertanya pada cowok pemabuk itu apa gerangan yang terjadi. Dia
membalikkan fakta kalau sebenarnya dia menolakku untuk menjadi kekasihnya dan
aku yang memaksakan kehendakku padanya untuk menjadikanku kekasihnya. Huh… Aku
dianggapnya sama seperti cewek-cewek lainnya.
Hahaha… Cerita paling
bodoh yang pernah aku dengar.
Tapi semua itu dianggap
kejadian yang benar-benar terjadi oleh orangtuaku.
Setiap hari aku selalu
dimarahi agar mengakui perbuatanku itu. Sakit hati tak terbendung
lagi.
Rupanya orangtuaku lebih
percaya pada omongan tetangga dan ibu-ibu Bigos itu yang jelas-jelas tidak ada
buktinya, ketimbang aku anaknya sendiri.
Mana mungkin aku berdua-duaan
dengan cowok pemabuk itu, aku kan
seharian ini di Batu Kesedihan.
Yang aku sedihkan lagi aku
enggan menceritakan tempat indahku itu. Aku takut jika mereka tahu, mereka akan
merusak tempat itu. Bahkan yang lebih parah lagi bagaimana kalau tempat itu menjadi
senjata mereka untuk memfitnahku lagi, dengan alasan tempat itu pun dipakai yang enggak-enggak olehku.
“Gak.. aku gak boleh
memberitahukan tempat indahku itu kepada mereka.” Kataku.
...
Karena terlalu lelah, aku tertidur diatas Batu Kesedihan.
Tengah malam baru terbagunkan oleh suara burung hantu di salah satu pohon rindang
disana. Aku takut pulang, karena aku tahu Lutto pasti menungguku di tempat yang
tempo hari aku sempat berpapasan dengannya.
Akhirnya aku putuskan
untuk menginap dan pulang menjelang shubuh. Dan aku memutuskan juga beberapa
hari ini akan camping saja. Menghindari permasalahan yang sedang terjadi
dilingkungan rumahku.
Keesok paginya, tepat
sekali dugaanku. Lutto menungguku semalaman didepan kamar kost-an temannya itu.
aku pulang sambil diikuti olehnya. “Fuh… untung masih jam limaan, ibu-ibu Bigos
itu pasti belum pada ngumpul diwarung itu” pikirku.
Aku segera lari menuju
rumahku dan langsung masuk.
Tapi hari ini kasusku
semakin bertambah parah.
Kira-kira pagi itu pada
pukul delapan lebih sepuluh menit , Pak RT dan Pak RW datang ke rumahku untuk membawaku
ke Kantor Urusan Agama.
Pak RT menjelaskan kepada
Papapku kalau semalam aku dan Lutto tidur bersama dikost-an temannya Lutto.
Dan pagi ini dengan
perasaan bersalah Lutto mengakui kepada orangtuanya dan kepada pak RT kalau dia
dan aku melakukan hubungan suami-istri atas dasar suka sama suka karena dibawah
pengaruh minuman keras.
Saat itu juga aku menangis
dan mencoba menjelaskan kalau malam tadi aku tidak bersamanya.
Pak RT menambahkan kalau
tadi pagi sekitar pukul lima ada saksi yang melihat aku dan Lucky berjalan bersamaan dari kost-an temannya Lutto.
Saksi itu adalah ibu kost temannya Lutto. Yang membuatku benar-benar hancur,
ibu kost itu ternyata salah satu anggota dari ibu-ibu The Bigos Gank itu."Huuwaaaaaa.....!!!!!!!!!!!!!!!"
Hatiku hancur… ingin mati
rasanya. Tidak ada seorangpun yang dapat membela dan membantuku untuk kasus
yang tidak pernah aku lakukan.
Tanpa berpikir panjang, aku
lari sekuat tenaga dengan airmata deras yang tak sanggup ku hentikan. Aku lari dengan
perasaan ingin segera sampai di Batu Kesedihanku.
Aku terus saja berlari
sampai aku menyadari ternyata adikku dan kedua temannya mengejarku. Mereka berteriak
memanggilku, memintaku berhenti berlari dan kembali untuk menyelesaikan
kesalahfahaman yang sedang terjadi di rumah.
Aku tak mau kembali. Aku
terus berlari dan bersembunyi. Adikku dan kedua temannya tetap mencariku dan berteriak
memintaku untuk segera kembali.
Aku merasa tempat indahku
terancam. Kalau aku terus berlari, adikku dan kedua temannya bisa mengikutiku
dan akan menemukan tempat indahku. Dan siapa menyangka kalau kemudian keadaan bisa
semakin memburuk.
Aku coba pancing mereka
untuk menjauhi tempat indahku. Aku coba menghindari mereka dengan cara pergi
dari tempat persembunyianku. Tapi rupanya, ranting dan daun-daun kering yang
aku injak mengeluarkan suara cukup keras dan hal itu menyadarkan meraka kalau
aku ada di dekat situ.
“Meraka melihatku, mereka
melihatku” teriakku. Suaranya terdengar lagi. Mereka berteriak minta aku
berhenti berlari dan segera kembali kerumah bersama mereka. “Aku ‘gak mau..!!!”
teriakku.
Aku lari dan terus berlari
lagi menghindari mereka. Tapi mereka tetap bisa menemukanku.
Strategi terakhirku untuk
menjauhkan mereka dari aku dan tempat rahasiaku adalah dengan ambil jalan
memutar. Rasanya sangat sempurna untuk menghilangkan jejakku.
Dugaanku tepat, mereka kehilanganku dan tanpa berfikir panjang aku segera pergi menuju ke Batu Kesedihanku.
Dugaanku tepat, mereka kehilanganku dan tanpa berfikir panjang aku segera pergi menuju ke Batu Kesedihanku.
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar